Keboncinta.com --- Zina (bahasa Arab: الزنا, translit. az-Zinā) adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah. Dalam istilah fikih, zina disebut al-wath’u fī al-farj bi ghayri ḥaqqin, yakni hubungan badan yang dilakukan di luar aturan syariat. Islam secara tegas melarang perbuatan zina karena termasuk dosa besar yang merusak moral dan ketertiban masyarakat.
Sebagai dasar pengetahuan, penting bagi umat Islam untuk memahami dalil-dalil tentang zina dalam Al-Qur’an dan hadis. Para ulama menjelaskan bahwa zina dipahami sebagai hubungan intim di luar pernikahan yang sah menurut hukum Islam.
Mengutip Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar (2020) serta berbagai literatur fikih, zina terbagi menjadi dua jenis:
Zina Muhshan → dilakukan oleh seseorang yang sudah menikah.
Zina Ghairu Muhshan → dilakukan oleh seseorang yang belum menikah.
Kedua jenis zina tersebut memiliki konsekuensi hukum berbeda dalam syariat Islam.
Dalam Buku Pengantar Hukum Islam, Hasbi Ash-Shiddieqy menegaskan bahwa zina adalah perbuatan tercela berupa persetubuhan antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan sah. Karena itu, Islam bukan hanya melarang zina, tetapi juga segala perbuatan yang mendekati zina, seperti berdua-duaan (khalwat), memandang dengan syahwat, atau perilaku yang membuka pintu maksiat.
Baca juga : Memahami Takdir Muallaq dalam Islam: Arti, Dalil, dan Contohnya
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Wa lā taqrabū az-zinā, innahū kāna fāḥisyatan wa sā`a sabīlā
Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Penafsiran Ulama:
Imam al-Ṭabarī (Jāmi‘ al-Bayān): Larangan di sini bukan sekadar perbuatan zina, melainkan juga muqaddimāt az-zinā (segala hal yang mengantarkan kepadanya), seperti khalwat (berduaan tanpa mahram), pandangan syahwat, hingga sentuhan yang membangkitkan nafsu.
Wahbah az-Zuhaili (al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh): Ayat ini dijadikan dasar hukum pidana Islam (jinayah) bahwa syariat tidak hanya menghukum pelaku zina, tetapi juga menutup segala pintu yang mengarah ke zina sebagai bentuk sadd adz-dzara’i.
Buya Hamka (Tafsir al-Azhar): Larangan “jangan mendekati zina” adalah peringatan moral. Menurut beliau, ayat ini menekankan pentingnya kontrol diri, pendidikan agama, dan lingkungan sosial yang sehat agar umat Islam terhindar dari perilaku zina.
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجْلِدُوا كُلَّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Az-zāniyatu waz-zānī fajlidū kulla wāḥidin minhumā mi’ata jaldah, wa lā ta’khudz-kum bihimā ra’fatun fī dīnillāhi in kuntum tu’minūna billāhi wal-yaumil-ākhir, walyasy-had ‘azābahumā ṭā`ifatun minal-mu’minīn
Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan mencegah kamu untuk (menjalankan) hukum Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat; dan hendaklah hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang mukmin.”
Penafsiran Ulama:
Imam al-Qurṭubī (al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān): Ayat ini adalah dasar penetapan hudud zina. Hukuman cambuk 100 kali berlaku untuk pelaku zina ghairu muḥṣan (belum menikah). Sedangkan untuk muḥṣan (sudah menikah), hukuman diperberat dengan rajam, berdasarkan hadis sahih yang mutawatir.
Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhīm): Menekankan bahwa ayat ini menunjukkan hudud adalah hak Allah yang harus ditegakkan tanpa boleh dihalangi rasa iba, karena hukum ini untuk menjaga kesucian masyarakat.
Ahmad Wardi Muslich (Hukum Pidana Islam – Jinayah): Dalam konteks hukum modern, hudud zina dipandang sebagai aturan tegas untuk menjaga moral publik. Beliau menjelaskan perbedaan hukuman antara muḥṣan dan ghairu muḥṣan menunjukkan keseriusan syariat dalam menutup pintu zina.
ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً ۖ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ
Az-zānī lā yankiḥu illā zāniyatan aw musyrikah, waz-zāniyatu lā yankiḥuhā illā zānīn aw musyrik, wa ḥurrima dzālika ‘alal-mu’minīn
Artinya:
“Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.”
Penafsiran Ulama:
Al-Bayḍāwī (Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl): Menegaskan bahwa zina adalah kehinaan yang merendahkan martabat pelakunya. Karena itu, pasangan yang setara bagi pezina hanyalah sesamanya atau orang musyrik. Ayat ini dimaksudkan sebagai peringatan agar kaum Muslimin menjaga kehormatan diri dan rumah tangga.
Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhīm): Menjelaskan bahwa ayat ini merupakan bentuk larangan sosial. Pelaku zina dianggap tidak layak menikahi wanita mukminah yang menjaga kehormatan, begitu pula sebaliknya. Ini adalah cara Allah menjaga nasab dan martabat umat Islam.
Buya Hamka (Tafsir al-Azhar): Ayat ini menjadi peringatan keras bahwa masyarakat Muslim harus menjaga kemurnian rumah tangga. Rumah tangga yang dibangun atas dasar kesucian akan melahirkan generasi yang terhormat, sementara zina hanya akan melahirkan kerusakan moral dan sosial.