keboncinta.com --- Dalam Islam, seorang perempuan yang berpisah dari suaminya, baik karena talak maupun ditinggal wafat, tetap memiliki kewajiban menjalani masa iddah. Iddah adalah masa tunggu yang ditetapkan syariat sebelum seorang janda boleh menikah lagi.
Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi dalam Fathul Qarib menjelaskan definisi iddah:
وهي لغة الاسم من اعتَدَّ، وشرعا ترَبُّص المرأة مدةً يعرف فيها براءة رحمها بأقراء أو أشهر أو وضع حمل
Artinya: “Iddah secara bahasa berasal dari kata i‘tadda. Sedangkan secara syar’i, iddah adalah masa tunggu seorang perempuan dalam jangka waktu tertentu untuk memastikan rahimnya kosong, baik dengan hitungan masa suci, bulan, atau sampai melahirkan.” (Fathul Qarib, hlm. 252).
Selain memastikan kekosongan rahim sebelum pernikahan baru, iddah juga mengandung hikmah moral: memberikan ruang bagi suami-istri untuk menimbang kembali hubungan mereka.
Syekh Wahbah Zuhaili menegaskan:
“Iddah memberikan kesempatan bagi suami untuk merenungkan keadaan istrinya. Ia bisa merujuknya jika perceraian dirasa keliru, atau melepasnya jika memang perceraian adalah jalan terbaik.”
(al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, IX/434).
Dalam praktik kehidupan, banyak pasangan telah lama berpisah secara fisik, namun baru sah bercerai di mata hukum setelah adanya putusan pengadilan.
Pertanyaannya, apakah iddah tetap berlaku? Jawabannya: ya, iddah tetap berlaku.
Menurut hukum Islam dan hukum positif di Indonesia, perceraian dianggap sah dan memiliki konsekuensi hukum hanya setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Selama belum ada putusan resmi, status pernikahan masih tetap melekat meski pasangan sudah lama pisah ranjang.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Mengatur putusnya perkawinan, meskipun tidak menyebut kata iddah secara eksplisit. Namun konsep waktu tunggu diatur, yang sejatinya merujuk pada iddah.
PP No. 9 Tahun 1975
Pasal 34 ayat (2) menegaskan perceraian baru dianggap terjadi setelah pendaftaran pencatatan, khusus bagi muslim terhitung sejak putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 153
Menjelaskan durasi iddah:
Cerai karena wafat suami: 4 bulan 10 hari, meski belum sempat berhubungan.
Cerai talak: 3 kali suci (kurang lebih 90 hari) bagi yang masih haid.
Tidak haid: 90 hari.
Hamil: hingga melahirkan.
Pasal 146 ayat (2) KHI
Perceraian sah beserta akibatnya sejak putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Allah SWT berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (suci atau haid). Tidak halal bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. Al-Baqarah: 228).
Ayat ini menunjukkan bahwa kewajiban iddah mutlak berlaku setelah talak sah, bukan sekadar berpisah secara fisik.
Hadis Nabi SAW juga menyebut:
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung lebih dari tiga hari, kecuali atas suaminya, yakni empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam al-Syafi’i: iddah adalah hak Allah dan hak suami. Hak Allah untuk menjaga nasab, dan hak suami agar punya kesempatan merujuk istrinya selama masih dalam masa iddah.
Imam Ibnul Mundzir: ijma’ ulama menetapkan bahwa wanita yang ditalak wajib menjalani iddah sesuai kondisinya, baik ia haid, tidak haid, maupun hamil.
Meski pasangan sudah lama berpisah secara fisik, masa iddah baru berlaku setelah adanya putusan resmi perceraian dari Pengadilan Agama. Dengan demikian, iddah tidak gugur hanya karena perpisahan panjang tanpa keputusan hukum.
Seorang perempuan yang sah ditalak tetap wajib menjalani iddah sesuai ketentuan Al-Qur’an, hadis, dan hukum positif di Indonesia. Hal ini untuk menjaga nasab, kehormatan, serta memberi kesempatan introspeksi dan kemungkinan rujuk.
Wallahu a’lam.