keboncinta.com --- Panduan tayamum di dinding/tembok sesuai tuntunan Islam: niat tayamum (untuk shalat & membaca Al-Qur’an), langkah-langkah praktik, syarat sah, rukun tayamum, serta penafsiran ulama mengenai ṣa‘īd (permukaan bumi) dan hukum ketika air ditemukan.
Mengutip Ensiklopedia Fikih Kemenag, tayamum adalah pengganti wudhu dan mandi janabah saat tidak ada air atau ada uzur syar‘i (mis. sakit, bahaya, atau akses air sangat terbatas).
Dalil Al-Qur’an (di antaranya) QS. An-Nisā’ [4]: 43:
فَإِن لَّمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
“…sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu).”
Jumhur mufassirīn menafsirkan ṣa‘īd sebagai segala yang berasal dari permukaan bumi (unsur mineral/ tanah): tanah, pasir, batu, bahkan permukaan bangunan yang terbuat dari unsur bumi (bata, semen, tanah liat) jika ada debu suci yang menempel.
Imam Al-Nawawi (Syafi‘iyah) menjelaskan: yang menjadi media tayamum adalah debu suci yang berhambur (lahu ghubār) dan menempel di tangan/anggota yang diusap. Dinding licin bersih tanpa debu tidak memenuhi syarat.
نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لِاسْتِبَاحَةِ الصَّلَاةِ للهِ تَعَالَى
Latin: Nawaytu tayammuma li istibāḥati ṣ-ṣalāti lillāhi ta‘ālā
Arti: “Aku berniat tayamum agar diperbolehkan shalat karena Allah.”
نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لِاسْتِبَاحَةِ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Latin: Nawaitu at-tayammuma listibāḥati qirā’atil-Qur’āni lillāhi ta‘ālā
Arti: “Aku berniat tayamum agar diperbolehkan membaca Al-Qur’an karena Allah Ta‘ālā.”
Jumhur (Mālikī, Syāfi‘ī, Hanbalī): tayamum tidak mengangkat hadats, melainkan membolehkan ibadah tertentu (istibāḥah). Karena itu niat harus spesifik (mis. untuk shalat Maghrib, untuk membaca Al-Qur’an).
Sulaiman Rasyid (Fiqih Islam Lengkap): niat “sekadar bersuci” tidak cukup; niatkan izin melakukan ibadah tertentu (mis. thawaf, shalat, membaca mushaf).
Pastikan ada debu suci yang menempel di permukaan dinding (bukan najis).
Disunnahkan menghadap kiblat, ucap basmalah.
Tempelkan kedua telapak tangan ke bagian dinding yang berdebu (jari-jari dirapatkan). Niat di hati saat memulai pengusapan wajah (boleh dilafazkan seperti di atas).
Usap seluruh wajah sekali usap yang merata (tidak wajib menyelusup ke bawah rambut/bulu).
Tempelkan lagi telapak tangan ke debu (kali ini jari-jari direnggangkan).
Usap kedua tangan hingga siku: mulai telapak kiri mengusap lengan kanan sampai siku, putar tangan untuk sisi sebaliknya, lalu jempol kiri bertemu jempol kanan; ulangi pada tangan kiri.
Sela-sela jari saling diusap.
Catatan penafsiran:
Cukup sekali tepuk untuk wajah dan sekali tepuk untuk tangan (pendapat masyhur Syafi‘iyah).
Cincin/jam sebaiknya dilepas agar debu merata.
Jika debu tidak menempel, tidak sah; cari permukaan lain yang berdebu suci (batu, meja kayu berdebu, dll.).
Teks Arab:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ، وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ، وَاجْعَلْنِي مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ، سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
Latin:
Asyhadu an lā ilāha illallāhu waḥdahu lā sharīka lah, wa asyhadu anna Muḥammadan ‘abduhū wa rasūluh. Allāhummaj‘alnī mina at-tawwābīn, waj‘alnī mina al-mutaṭahhirīn, waj‘alnī min ‘ibādika aṣ-ṣāliḥīn. Subḥānaka Allāhumma wa biḥamdik, asyhadu an lā ilāha illā anta, astaghfiruka wa atūbu ilaik.
Arti:
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci, dan jadikanlah aku termasuk hamba-hamba-Mu yang saleh. Mahasuci Engkau, ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Engkau. Aku memohon ampunan kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar menyebutkan, doa ini dianjurkan dibaca setelah wudhu. Para ulama memperluas anjurannya juga untuk tayamum, karena keduanya sama-sama ibadah bersuci.
Ibn Hajar al-‘Asqalani menambahkan, membaca doa setelah bersuci adalah bentuk penyempurna ibadah, karena menggabungkan dzikir, syahadat, dan permohonan ampun.
Jumhur ulama menegaskan doa ini mustahabb (sunnah dianjurkan), bukan wajib. Sehingga jika lupa atau tidak membacanya, tayamumnya tetap sah.
Merujuk Asy-Syairazī (Syafi‘iyah) & al-Mawsū‘ah al-Fiqhiyyah:
Debu suci (tidak najis) dan bisa berhambur/menempel (ghubār).
Cukup untuk meratakan wajah dan tangan.
Bukan debu musta‘mal (bukan debu yang sudah dipakai untuk tayamum).
Permukaan dinding asal-unsurnya dari bumi (bata, semen, tanah liat) lebih utama; namun yang dipakai tetap debu yang menempel.
Versi jumhur (ringkas populer):
Niat, 2) Mengusap wajah, 3) Mengusap kedua tangan hingga siku, 4) Tertib, 5) Media suci dari unsur bumi (debu).
Safīnatun Najāh (ringkas Syafi‘iyah):
Niat, 2) Usap wajah, 3) Usap kedua tangan sampai pergelangan (ada khilaf rincian level siku dalam mazhab), 4) Tartīb.
Penafsiran ulama: Perbedaan redaksi rukun antara kitab ringkas (mukhtaṣar) dan syarḥ yang lebih luas adalah hal lazim di literatur Syafi‘iyah—praktik umum mengikuti usap wajah lalu tangan hingga siku agar mencakup pendapat yang lebih ihtiyāṭ (kehati-hatian).
Jumhur: tayamum batal saat air tersedia sebelum shalat; harus berwudhu.
Jika air ditemukan di tengah shalat, pendapat kuat dalam Syafi‘iyah: batalkan shalat, berwudhu, ulang shalat (kecuali dikhawatirkan hilang waktu, ada rincian uzur).
Jumhur: tayamum membolehkan ibadah tertentu. Idealnya satu tayamum untuk satu shalat fardhu. Untuk ibadah lain (baca mushaf, shalat sunnah) niatkan sesuai kebutuhannya.
Malikiyah memiliki rincian kelonggaran dalam kasus uzur berkelanjutan (darurat berulang).
Media tayamum harus ṭayyib/ṭāhir (suci). Dinding terkena najis tidak boleh dipakai sampai suci kembali.
Do:
Pastikan ada debu suci yang menempel.
Niat spesifik (shalat Maghrib, membaca mushaf, dll.).
Urut: wajah → tangan.
Lepas penghalang (cincin/jam).
Don’t:
Menepuk dinding bersih licin tanpa debu.
Menyamakan tayamum dengan wudhu (tayamum istibāḥah, bukan mengangkat hadats menurut jumhur).
Mengabaikan kewajiban berwudhu ketika air sudah ada & aman digunakan.
Q1.