Peran perempuan dalam masyarakat modern semakin luas. Banyak muslimah yang telah berumah tangga memilih berkarier di ranah publik sebagai guru, perawat, dosen, pengusaha, pejabat, atau profesi lainnya. Dengan begitu, mereka bukan hanya berperan sebagai pengatur rumah tangga, tetapi juga memberi kontribusi penting bagi umat dan bangsa.
Lalu, timbul pertanyaan: Mungkinkah seorang istri tetap salehah sekaligus aktif sebagai wanita karier? Jawabannya: sangat mungkin, asalkan dijalani dengan niat ikhlas, adab yang terjaga, serta tetap berlandaskan syariat Islam.
Berikut 5 kiat islami menjadi istri salehah sekaligus wanita karier:
Islam memuliakan perempuan dengan memberi aturan yang menjaga martabatnya. Allah SWT berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu.” (QS. Al-Ahzab: 33).
Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini:
فمعنى هذه الآية الأمر بلزوم البيت، وإن كان الخطاب لنساء النبي ﷺ فإن سائر النساء داخلات فيه بالمعنى
“Makna ayat ini adalah perintah untuk menetap di rumah. Meski ditujukan kepada istri-istri Nabi SAW, perempuan lain juga termasuk di dalamnya secara makna.” (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, XIV/179).
Namun, bukan berarti wanita dilarang keluar rumah. Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa larangan tabarruj adalah agar perempuan tidak keluar dengan berhias berlebihan, sedangkan keluar untuk tujuan syar’i seperti menuntut ilmu, bekerja halal, atau berdakwah tetap diperbolehkan selama menjaga adab.
Rasulullah SAW bersabda:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang salehah.” (HR. Muslim).
Imam Al-Ghazali menegaskan:
فأما حق الزوج على المرأة فأعظم الحقوق، بل لو أمر الله سبحانه وتعالى أحداً أن يسجد لأحد لأمر المرأة أن تسجد لزوجها
“Hak suami atas istri adalah hak paling agung. Jika Allah membolehkan sujud kepada selain-Nya, niscaya Allah memerintahkan istri sujud kepada suaminya.” (Ihya’ Ulumiddin, II/65).
Dengan demikian, prioritas utama seorang istri adalah menjaga hubungan baik dengan suami. Pekerjaan dan karier tidak boleh melalaikan kewajiban utama dalam rumah tangga.
Izin suami bukan sekadar etika, tetapi bagian dari syariat. Imam Nawawi menulis:
ولا يجوز لها الخروج من المنزل إلا بإذنه
“Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” (Raudhah al-Thalibin, V/435).
Hal ini sejalan dengan hadis:
إِذَا اسْتَأْذَنَتِ الْمَرْأَةُ أَحَدَكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا يَمْنَعْهَا
“Apabila seorang istri meminta izin kepada salah seorang di antara kalian untuk pergi ke masjid, maka janganlah ia dilarang.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari sini dipahami, izin suami adalah bentuk penghormatan terhadap haknya, dan keridhaannya menjadi sumber keberkahan.
Islam menilai amal bukan dari kuantitas, tetapi kualitas dan manfaatnya. Ibnu Qudamah berkata:
أفضل الأعمال ما داوم عليه صاحبه وإن قل، وكان نفعه متعدياً إلى الغير
“Amal terbaik adalah yang dilakukan konsisten, meski sedikit, dan memberi manfaat kepada orang lain.” (Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hlm. 27).
Bekerja untuk menafkahi orang tua, membantu suami, atau mendukung pendidikan anak, jika diniatkan karena Allah, bernilai ibadah.
Rasulullah SAW juga bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad).
Kehormatan adalah mahkota muslimah.