Keboncinta.com-- Merdeka Belajar bukan hanya slogan kebijakan pendidikan. Ia adalah ajakan untuk membebaskan pikiran dari belenggu hafalan, dan mengembalikannya pada hakikat belajar: berpikir. Dalam konteks ini, fiksi—novel, cerpen, puisi, atau drama—bukan sekadar hiburan, tetapi ruang refleksi bagi manusia muda untuk memahami dirinya dan dunia.
Belajar lewat fiksi berarti memberi ruang bagi imajinasi. Sebab, imajinasi adalah bentuk tertinggi dari berpikir. Ketika siswa membaca tokoh yang jatuh, gagal, lalu bangkit, mereka sedang belajar tentang keteguhan tanpa perlu kuliah tentang motivasi. Fiksi melatih empati dan akal sehat dalam satu tarikan napas.
Fiksi Sebagai Cermin Diri
Setiap cerita fiksi sesungguhnya adalah cermin. Di dalamnya, manusia menatap dirinya sendiri dalam bentuk lain. Minke dalam Bumi Manusia bukan hanya tokoh sejarah; ia simbol dari keberanian berpikir bebas di tengah tekanan sosial. Sementara Lintang dalam Laskar Pelangi mengajarkan bahwa kecerdasan bukan milik kota, tetapi milik siapa pun yang mencintai pengetahuan.
Fiksi memungkinkan siswa belajar tanpa diajari, karena mereka menemukan makna sendiri. Di situlah merdeka belajar menjadi nyata—bukan karena kurikulumnya longgar, tetapi karena pikirannya terbuka.
Guru Sebagai Pemandu Refleksi
Dalam paradigma ini, guru tidak lagi menjadi penguasa kebenaran, melainkan pemandu perenungan. Tugas guru adalah menyalakan rasa ingin tahu, bukan memadamkannya dengan jawaban yang tunggal. Diskusi tentang novel bisa menjadi titik awal untuk berbicara tentang keadilan, kesetaraan, atau bahkan absurditas hidup—hal-hal yang sering absen dari ruang kelas yang sibuk mengejar nilai.
Fiksi dan Kemerdekaan Berpikir
Merdeka Belajar sejatinya adalah upaya memerdekakan kesadaran. Fiksi memberi ruang untuk itu: ruang di mana siswa bebas berpikir, merasa, dan menafsirkan tanpa takut salah.
Di dunia yang dipenuhi fakta cepat dan opini instan, fiksi justru mengajarkan pelan-pelan berpikir.
Dan mungkin, hanya lewat fiksi, sekolah bisa kembali menemukan maknanya: tempat manusia belajar menjadi manusia.
Contributor: Tegar Bagus Pribadi