Keboncinta.com-- Ketika dunia hari ini sibuk mencari kebahagiaan di luar diri—dalam harta, status, dan popularitas—seorang sufi dari abad ke-13 telah lama menunjukkan arah sebaliknya. Jalaluddin Rumi (1207–1273 M), penyair dan sufi besar dari Konya, menulis bahwa kedamaian sejati hanya bisa ditemukan dengan menyelami batin sendiri.
Dari Kata ke Rasa
Bagi Rumi, agama bukan sekadar kumpulan hukum, tetapi perjalanan cinta menuju Tuhan. Dalam Mathnawi, karya monumentalnya, ia menulis:
“Apa yang kau cari di luar dirimu, ada di dalam dirimu sendiri.”
Kalimat ini bukan sekadar puisi, melainkan pernyataan metafisik. Rumi melihat manusia sebagai cermin Tuhan—makhluk yang harus kembali mengenali sumber cahayanya. Inilah inti tasawuf: mengenal diri untuk mengenal Sang Pencipta.
Cinta sebagai Jalan Pengetahuan
Rumi mengajarkan bahwa pengetahuan sejati tidak lahir dari buku, tetapi dari cinta. Ia menulis:
“Cinta adalah jembatan antara engkau dan segala sesuatu.”
Dalam pandangannya, cinta bukan emosi sentimental, melainkan kekuatan kosmik yang menggerakkan seluruh ciptaan. Akal menuntun manusia memahami hukum alam, tetapi cinta menuntunnya memahami makna di balik hukum itu.
Dengan cinta, tasawuf menjadi ilmu yang menumbuhkan kedamaian, bukan perdebatan. Dalam cinta, tidak ada “aku” dan “engkau”—hanya kesatuan eksistensi.
Warisan Spiritual yang Menembus Zaman
Rumi adalah bukti bahwa spiritualitas Islam memiliki bahasa universal. Puisinya diterjemahkan ke puluhan bahasa dan dibaca lintas agama dan budaya. Namun bagi umat Muslim, Rumi bukan sekadar penyair cinta, melainkan guru kebijaksanaan batin yang mengingatkan: dzikir sejati bukan hanya di bibir, tetapi dalam kesadaran yang terus mengingat Tuhan di setiap napas.
Kedamaian yang Tak Lekang oleh Zaman
Warisan Rumi adalah warisan kedamaian. Ia mengajarkan bahwa jalan menuju Tuhan bukan melalui kekerasan, tetapi melalui penyucian hati. Dalam dunia modern yang riuh oleh ego dan kompetisi, pesan Rumi terasa abadi:
“Diamlah, biarkan hatimu berbicara. Di sanalah Tuhan menunggu dengan sabar.”
Rumi tidak mengajarkan kita cara lari dari dunia, tetapi cara hidup di dunia dengan jiwa yang tenang.
Contributor: Tegar Bagus Pribadi