Keboncinta.com-- Kepemimpinan sering diukur dari kekuasaan, tetapi Rasulullah ﷺ membalikkan ukuran itu: memimpin bukan untuk berkuasa, melainkan untuk melayani. Dalam sejarah peradaban, jarang ada pemimpin yang mampu menyatukan kelembutan hati dan ketegasan prinsip dalam satu pribadi. Muhammad ﷺ adalah pengejawantahan harmoni itu—lembut dalam pendekatan, tegas dalam kebenaran.
Kelembutan yang Menumbuhkan Kepercayaan
Rasulullah ﷺ memimpin dengan kasih, bukan dengan ketakutan. Ketika beliau dihina di Thaif, beliau tidak membalas, melainkan berdoa agar keturunan mereka kelak diberi petunjuk. Kelembutan ini bukan tanda kelemahan, tetapi kebesaran jiwa. Al-Qur’an menegaskan hal ini:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekitarmu.”
(QS. Ali ‘Imran 3:159)
Kelembutan Rasulullah menumbuhkan rasa percaya. Dan kepercayaan adalah mata uang moral tertinggi dalam kepemimpinan.
Ketegasan yang Berakar pada Prinsip
Namun, kelembutan beliau selalu disertai ketegasan dalam keadilan. Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah bersabda:
“Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Itu bukan ancaman, melainkan penegasan bahwa keadilan tidak mengenal privilese. Ketegasan Rasulullah lahir dari akal sehat moral—keputusan yang berpijak pada prinsip, bukan pada amarah.
Kepemimpinan Sebagai Amanah
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjelaskan bahwa kepemimpinan bukan hak istimewa, tetapi amanah. Siapa pun yang memimpin—dalam keluarga, lembaga, atau negara—harus sadar bahwa kekuasaan adalah ujian akhlak.
Lembut dalam Hati, Tegas dalam Prinsip
Dalam diri Rasulullah ﷺ, kepemimpinan menjelma menjadi akhlak: rendah hati tanpa kehilangan wibawa, tegas tanpa kehilangan kasih.
Contributor: Tegar Bagus Pribadi