keboncinta.com --- Pernikahan adalah ikatan suci yang menghubungkan dua insan dalam perjalanan panjang kehidupan. Dalam Islam, nikah bukan hanya penyatuan cinta, tetapi juga sarana ibadah dan jalan meraih keberkahan.
Sering kali muncul pertanyaan: tujuan nikah itu sebenarnya buat apa, sih? Apakah semata-mata untuk hubungan biologis, memiliki keturunan, atau ada makna yang lebih dalam?
Hubungan suami-istri hanyalah sebagian kecil dari kehidupan rumah tangga. Ada pasangan yang tetap bahagia meski salah satunya sakit dan tak lagi bisa berhubungan intim. Ada pula keluarga yang hidup berjauhan (LDR), namun tetap harmonis.
Artinya, tujuan utama pernikahan bukan semata hubungan biologis, melainkan membangun kehidupan bersama yang tenteram dan penuh kasih sayang.
Baca juga : Cara Mengatasi Konflik Rumah Tangga Secara Islami
Islam memang menjadikan keturunan sebagai salah satu hikmah pernikahan. Namun, tidak semua pasangan dianugerahi anak. Bahkan Rasulullah SAW sendiri hanya dikaruniai keturunan dari Sayyidah Khadijah dan Maria al-Qibtiyah.
Kalau tujuan menikah hanya untuk anak, tentu banyak pasangan yang bercerai karena tak kunjung punya keturunan. Padahal, kualitas generasi penerus tidak selalu lahir dari rahim sendiri. Rasulullah mengasuh Zaid bin Haritsah, bahkan Sayyidina Ali tumbuh di rumah beliau sejak kecil.
Jadi, tujuan menikah bukan semata melahirkan anak, tapi mewujudkan generasi penerus yang baik, saleh, dan berkualitas—baik melalui keturunan biologis maupun anak asuh.
Salah satu tujuan pernikahan adalah menjaga kehormatan diri dari perbuatan zina. Dengan adanya akad nikah, hubungan laki-laki dan perempuan menjadi jelas dan terhormat.
Tanpa aturan pernikahan, relasi manusia bisa kacau: inses, ketidakjelasan nasab, hingga hilangnya kehormatan. Karena itu, Islam menetapkan batasan mahram dan gair mahram agar hubungan tetap suci dan teratur.
Baca juga : Cara Menghadapi Perbedaan Karakter dalam Rumah Tangga
Allah SWT berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوٓا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
(QS. Ar-Rum: 21)
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan puncak pernikahan adalah sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta kasih), dan rahmah (kasih sayang).
Sakinah → ketenangan dan kenyamanan dalam hidup berumah tangga.
Mawaddah → cinta yang tulus antara suami dan istri.
Rahmah → kasih sayang yang terus tumbuh meski usia dan keadaan berubah.
Sakinah bisa tercapai dengan berbagai cara:
Jika berdua bekerja dan itu membuat tenteram, maka boleh.
Jika hanya salah satu yang bekerja sementara yang lain mengurus rumah, juga boleh.
Bahkan jika peran ditukar—istri bekerja, suami mengurus rumah tangga—selama membawa kebahagiaan, Islam membolehkannya.
Artinya, pernikahan bukan soal aturan kaku, tapi bagaimana pasangan mencapai ketenangan, kebahagiaan, dan keberkahan dalam hidup bersama.
Baca juga : Nikah Muda: Antara Cinta dan Kesiapan
Tujuan nikah bukan sekadar hubungan fisik atau mendapatkan keturunan. Lebih dari itu, pernikahan bertujuan untuk:
Menjaga kehormatan diri.
Mewujudkan generasi penerus yang baik.
Menjadi sarana ibadah dan ladang pahala.
Meraih sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Singkatnya, tujuan utama pernikahan adalah menghadirkan ketenangan jiwa, cinta yang tulus, dan kasih sayang yang mendalam hingga akhir hayat.