Keboncinta.com-- Pendidikan di Indonesia lahir dari pergulatan, bukan dari kurikulum. Ia lahir dari tekad seorang bangsawan yang memilih menjadi guru rakyat: Ki Hajar Dewantara. Dalam dirinya, pendidikan bukan proyek birokrasi, melainkan perjuangan untuk memerdekakan manusia dari kebodohan yang dibuat oleh kekuasaan kolonial. Ia tidak sedang membangun sekolah; ia sedang membangun kesadaran.
Sekolah Sebagai Tindakan Politik
Ketika Ki Hajar mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922, ia tidak sekadar membuka lembaga pendidikan. Ia sedang melawan sistem kolonial yang hanya mengizinkan kaum elite belajar. Di tangan Belanda, sekolah adalah alat domestikasi—melahirkan pegawai, bukan pemikir. Ki Hajar membalikkan logika itu: sekolah harus melahirkan manusia merdeka.
Inilah politik yang subtil tapi radikal. Ia tidak mengangkat senjata, tapi mengajarkan membaca. Ia tidak menggulingkan rezim, tapi menggulingkan ketakutan berpikir. Bagi Ki Hajar, pendidikan bukan tentang angka rapor, tapi tentang kemampuan berpikir jernih. Karena, katanya, “Tujuan pendidikan itu bukan menjadikan manusia pintar, tetapi menjadikannya merdeka.”
Merdeka Belajar Sebelum Slogan
Jauh sebelum “Merdeka Belajar” jadi jargon kementerian, Ki Hajar sudah mempraktikkannya. Baginya, kebebasan belajar berarti menghargai potensi unik setiap anak. Ia menolak pendidikan yang seragam seperti pabrik. Anak bukan produk; ia adalah individu dengan daya hidup sendiri.
Guru, dalam pandangan Ki Hajar, bukan polisi kurikulum, melainkan penuntun. Ia berkata: “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Pemimpin bukan penguasa, tapi teladan. Di tengah, ia membangun semangat; di belakang, ia memberi dorongan. Sebuah prinsip kepemimpinan yang menuntut kebijaksanaan, bukan kediktatoran.
Jika Ki Hajar hidup hari ini, mungkin ia akan berkata bahwa sekolah kita sudah terlalu sibuk mengejar ranking, bukan nalar. Kita lebih takut salah menjawab ujian daripada salah berpikir. Padahal, bangsa yang merdeka adalah bangsa yang berani berpikir salah untuk menemukan kebenaran.
Contributor: Tegar Bagus Pribadi