Keboncinta.com-- Saat membahas sejarah Islam dan Timur Tengah, nama Qizilbash selalu muncul dengan aura mistik, fanatisme, dan keberanian yang melegenda. Mereka bukan sekadar pasukan perang biasa, melainkan simbol kekuatan spiritual sekaligus politik yang membentuk fondasi berdirinya Dinasti Safawi di Persia pada awal abad ke-16.
Nama Qizilbash sendiri berarti “kepala merah,” merujuk pada penutup kepala khas mereka yang berwarna merah dengan dua belas lipatan — simbol kesetiaan mereka kepada dua belas imam Syiah yang menjadi dasar kepercayaan mereka.
Asal-usul Qizilbash bermuara dari persilangan antara semangat kesukuan dan keagamaan. Mereka muncul dari berbagai suku Turkmen di wilayah Anatolia dan Azerbaijan, yang kemudian bersatu di bawah panji tarekat Safawiyah, sebuah ordo sufi yang dipimpin oleh Syekh Safi al-Din dan diteruskan oleh keturunannya, Ismail Safawi.
Baca Juga: Kementerian Agama Gandeng BMKG Perkuat Kerja Sama Layanan Hisab Rukyat
Pada saat Ismail naik menjadi pemimpin, ia tidak hanya memimpin sebagai seorang guru spiritual, tetapi juga sebagai panglima karismatik yang berhasil mengubah pasukan sufi ini menjadi kekuatan militer yang menakutkan.
Dengan semangat jihad dan kesetiaan mutlak kepada Ismail — yang mereka anggap sebagai wakil Tuhan di bumi — Qizilbash menaklukkan Persia dan mendirikan Dinasti Safawi pada tahun 1501 Masehi.
Penampilan Qizilbash mudah dikenali di medan perang. Mereka mengenakan sorban merah tinggi yang melambangkan iman Syiah dan membawa pedang melengkung khas Timur Tengah.
Akan tetapi, di balik simbol itu tersimpan semangat fanatisme yang luar biasa. Mereka bertempur dengan keyakinan bahwa gugur di medan perang demi pemimpin mereka adalah jalan menuju surga.
Baca Juga: Kemenag Siapkan Instrumen Monitoring Jaminan Produk Halal SPPG sebagai Wujud Dukungan kepada MBG
Semangat inilah yang membuat Qizilbash sering kali memenangkan pertempuran melawan pasukan yang jumlahnya jauh lebih besar, termasuk dalam pertempuran penting seperti Chaldiran pada tahun 1514 M, meskipun dalam pertempuran tersebut mereka akhirnya kalah dari Kesultanan Utsmani.
Tak hanya kekuatan militernya, Qizilbash juga memainkan peran politik yang besar di dalam pemerintahan Safawi. Mereka menjadi tulang punggung birokrasi dan administrasi kerajaan, namun seiring waktu, kesetiaan mereka yang berakar pada kesukuan sering kali menimbulkan konflik internal.
Setelah wafatnya Shah Ismail, kekuasaan Qizilbash mulai dipertanyakan, terutama ketika Shah Abbas I naik takhta. Untuk mengurangi dominasi mereka, Abbas merekrut pasukan baru dari kalangan budak Kaukasus (ghulam) dan menciptakan birokrasi yang lebih terpusat.
Meski demikian, warisan Qizilbash tetap kuat dalam struktur sosial dan politik Persia, bahkan setelah pengaruh militer mereka berangsur menurun.
Baca Juga: Pemerintah Serius Perkuat Program Perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Dalam sejarah, keberadaan Qizilbash tidak hanya berpengaruh di Persia. Jejak mereka juga terasa di wilayah India, Afghanistan, hingga Asia Tengah, di mana banyak keturunan mereka masih mempertahankan identitas dan tradisi khas leluhur mereka.
Dalam sejarah Islam, Qizilbash dikenang sebagai pasukan yang memadukan spiritualitas, keberanian, dan kesetiaan dalam satu tubuh. Mereka adalah contoh bagaimana ideologi keagamaan dan kekuasaan politik dapat berpadu menjadi kekuatan revolusioner yang mengubah wajah sebuah bangsa.
Pasukan Qizilbash tidak sekadar kisah tentang perang dan penaklukan, melainkan tentang bagaimana keyakinan mampu membentuk sejarah lahirnya sebuah dinasti yang meletakkan dasar bagi kebangkitan Persia modern, serta meninggalkan jejak dalam sejarah dunia Islam dan politik Asia Barat.***