Pendidikan
Vini Dwi Jayati

Literasi Sekolah: Dari Membaca Novel hingga Menulis Karya Sendiri

Literasi Sekolah: Dari Membaca Novel hingga Menulis Karya Sendiri

30 Oktober 2025 | 16:38

Keboncinta.com--   Sekolah seharusnya bukan pabrik nilai, tetapi taman pikiran. Di sanalah benih literasi tumbuh—bukan sekadar kemampuan membaca teks, melainkan kemampuan memahami hidup melalui kata. Literasi bukan soal berapa banyak buku dibaca, tetapi seberapa jauh bacaan itu mengubah cara berpikir.

Membaca novel, misalnya, bukan kegiatan pengisi waktu luang. Ia adalah latihan empati dan logika sekaligus. Saat siswa membaca Bumi Manusia atau Negeri 5 Menara, mereka belajar melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Mereka belajar bahwa kehidupan tidak tunggal, bahwa manusia bisa salah, ragu, dan tetap belajar dari kesalahannya.

Dari Membaca ke Menulis

Tahap berikutnya dari literasi adalah menulis. Sebab membaca tanpa menulis hanyalah konsumsi, bukan refleksi. Ketika siswa mulai menulis—cerpen, puisi, atau esai—mereka belajar menata pikiran, bukan sekadar menyalin ide. Di situ letak pendidikan sejati: membangun kesadaran, bukan hanya keterampilan.

Menulis adalah tindakan berpikir. Setiap kalimat yang ditulis memaksa otak bekerja, menimbang makna, menolak klise. Di sinilah sekolah sering gagal: siswa diminta menghafal karya orang lain, tapi jarang diberi ruang untuk mencipta. Padahal kreativitas bukan bawaan lahir, melainkan hasil keberanian berpikir.

Guru Sebagai Penuntun Literasi

Guru tidak perlu menjadi sastrawan untuk menumbuhkan literasi. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk membuka dialog. Biarkan siswa menafsir novel dengan caranya sendiri, menulis dengan bahasanya sendiri. Dari situ, sekolah berubah menjadi ruang percakapan, bukan ruang ujian.

Literasi sebagai Kesadaran

Literasi sejati adalah kesadaran berpikir. Dari membaca novel hingga menulis karya sendiri, siswa sedang belajar menjadi manusia yang utuh: yang mampu merasakan, menimbang, dan mengungkapkan gagasan dengan jujur.

Sekolah yang melek literasi tidak mencetak penghafal, tetapi melahirkan pemikir muda—mereka yang paham bahwa setiap kata adalah bentuk keberanian untuk berpikir.

Contributor: Tegar Bagus Pribadi

Tags:
pendidikan Literasi Budaya Literasi Pendidikan Karakter Karya Sastra Literasi Sastra

Komentar Pengguna