Sejarah
Rahman Abdullah

Perang Shiffin sebagai Wujud Konflik Kekuasaan antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan

Perang Shiffin sebagai Wujud Konflik Kekuasaan antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan

19 Oktober 2025 | 20:13

Keboncinta.com-- Sejarah Islam masa awal telah banyak mengisahkan berbagai cerita historis yang membuat penikmat sejarah penasaran untuk terus mengkajinya. Salah satu peristiwa dalam sejarah Islam yang menjadi akar konflik sesama Muslim di awal masa kejayaan Islam ialah terjadinya Perang Shiffin.

Perang Shiffin adalah salah satu peristiwa paling penting dan penuh ketegangan dalam sejarah Islam awal. Pertempuran ini bukan sekadar bentrokan militer antara dua kekuatan besar pada masa itu, tetapi juga menjadi titik awal perpecahan politik dan ideologis di antara umat Islam.

Perang Shiffin terjadi pada tahun 657 M (37 H), di sebuah wilayah bernama Shiffin — daerah yang terletak di tepi Sungai Eufrat, antara wilayah Irak dan Suriah sekarang.

Baca Juga: Sejarah Perang Uhud: Kemenangan di Depan Mata Berubah jadi Kekalahan yang Tak Terhindarkan

Pihak-pihak yang bertempur dalam Perang Shiffin adalah pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib (khalifah keempat Khulafaur Rasyidin) dan pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam (Suriah).

Mu’awiyah menolak baiat kepada Ali karena menuntut keadilan atas terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan yang juga merupakan kerabatnya. Ali di sisi lain berpendapat bahwa penyelesaian kasus Utsman harus dilakukan secara hukum dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda kesetiaan kepada khalifah yang sah.

Pertempuran dimulai dengan beberapa perundingan yang gagal. Ketegangan politik meningkat menjadi konflik terbuka. Kedua pasukan terdiri dari ribuan tentara yang sama-sama memiliki semangat juang tinggi. Selama beberapa hari, pertempuran berlangsung sengit.

Namun, ketika posisi Mu’awiyah mulai terdesak, ia melakukan langkah strategis: mengangkat mushaf Al-Qur’an di ujung tombak, menyerukan agar kedua pihak menyelesaikan perselisihan melalui tahkim (arbitrase).

Baca Juga: Operasi Militer Besar-besaran dan Titik Balik Strategis dalam Perang Dunia Kedua

Langkah ini membuat sebagian besar pasukan Ali ragu untuk melanjutkan pertempuran karena mereka tidak ingin dianggap menolak Al-Qur’an sebagai pedoman penyelesaian sengketa.

Meskipun Ali mengetahui bahwa tindakan itu adalah siasat politik, ia terpaksa menerima tahkim karena desakan pasukannya sendiri. Dalam proses tahkim, hasilnya justru tidak menguntungkan pihak Ali.

Arbitrase ini membuka jalan bagi Mu’awiyah untuk memperkuat posisinya secara politik, sementara kekuasaan Ali melemah akibat munculnya kelompok Khawarij, yaitu para pendukungnya yang kecewa atas keputusan menerima tahkim.

Dalam tahkim ini, pihak Ali menunjuk Abu Musa al-Asy’ari sebagai wakil, dan pihak Mu’awiyah menunjuk Amr bin Ash sebagai wakilnya. Keduanya sepakat untuk bertemu di wilayah Dumatul Jandal untuk menyelesaikan konflik.

Baca Juga: Bangun Peradaban Damai, BMBPSDM Kemenag Gelar Bedah BukuOase Gusdur: Menyelami Pemikiran, Kearifan, dan Keteladanan Sang Guru Bangsa”

Dalam pertemuan tersebut, terjadi manuver politik dari pihak Mu’awiyah. Abu Musa yang dianggap lebih polos dan sederhana menyatakan di depan umum bahwa kedua pemimpin sebaiknya mengundurkan diri demi menghindari perpecahan.

Namun setelah Abu Musa berbicara, Amr bin Ash melanggar kesepakatan tak tertulis. Ia menyatakan bahwa Ali telah turun, tetapi Mu’awiyah tetap berhak menjadi pemimpin. Hal ini mengejutkan kubu Ali dan menimbulkan kemarahan besar.

Perang Shiffin berakhir tanpa pemenang militer, tetapi Mu’awiyah berhasil meraih keuntungan politik melalui strategi cerdiknya. Sementara itu, Ali menghadapi tantangan internal dan eksternal setelah perang.

Perang Shiffin tidak hanya menimbulkan banyak korban jiwa, tetapi juga mewariskan dampak politik dan sosial yang sangat besar.

Baca Juga: Peran Badiuzzaman Said Nursi dalam Revitalisasi Spiritualitas Islam di Era Sekularisasi Turki Modern

Peristiwa ini menjadi salah satu faktor utama terjadinya perpecahan umat Islam menjadi beberapa golongan, termasuk Sunni, Syiah, dan Khawarij, yang jejaknya masih terasa hingga kini.

Dengan demikian, Perang Shiffin bukanlah sekadar konflik bersenjata, tetapi peristiwa bersejarah yang membentuk peta politik dan keagamaan dunia Islam.***

Tags:
Sejarah Khazanah Islam Sejarah Islam

Komentar Pengguna