Khazanah
M. Fadhli Dzil Ikram

Anak dari Pernikahan yang Tidak Tercatat (Nikah Siri) : Apakah Mereka Memenuhi Syarat untuk Mendapatkan Akta Kelahiran dan Hak Waris?

Anak dari Pernikahan yang Tidak Tercatat (Nikah Siri) : Apakah Mereka Memenuhi Syarat untuk Mendapatkan Akta Kelahiran dan Hak Waris?

18 Juli 2025 | 02:25

keboncinta.com --- Di Indonesia, pernikahan yang sah secara hukum agama namun tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) masih marak. Meskipun sah secara agama, pernikahan yang tidak tercatat dapat menimbulkan berbagai masalah hukum di kemudian hari, terutama jika melibatkan anak.

Sepanjang sejarah Islam, pernikahan yang tidak tercatat juga terjadi pada masa para Sahabat. Buku "Nikah Siri: Menjawab Semua Pertanyaan tentang Pernikahan yang Tidak Tercatat" karya Yani C. Lesar mengungkapkan bahwa konsep pernikahan yang tidak tercatat sudah ada sejak zaman Sahabat Umar bin Khattab.

Pada masa itu, beliau menyatakan bahwa terdapat pernikahan yang dilakukan tanpa saksi, kecuali satu perempuan dan satu laki-laki.

Dalam sebuah catatan yang menarik, Umar bin Khattab pernah berkata:

نكاح السر , ًلا أجيسه لٌ كنت تقد مت جمتلر

Artinya: "Ini nikah siri, saya tidak membolehkannya, dan sekiranya saya tahu lebih dahulu, maka pasti akan saya rajam."

Umar berpendapat bahwa pernikahan siri terjadi dalam situasi di mana hanya ada satu saksi laki-laki dan satu saksi perempuan.

Status anak yang lahir dari pernikahan siri seringkali menimbulkan pertanyaan, terutama mengenai hak mereka dalam hal warisan.

Buku "Status Hukum Anak dari Pernikahan Siri" karya Dr. Vita Cita Emia Tarigan, S.H., L.L.M. menyoroti perdebatan yang sedang berlangsung seputar status anak yang lahir dari pernikahan siri.

Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam menguraikan bahwa suatu pernikahan dianggap sah apabila mematuhi hukum Islam. Hal ini diperkuat lebih lanjut oleh Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menegaskan, "Pernikahan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya." Penting untuk melaporkan dan mencatat pernikahan di Kantor Urusan Agama atau Catatan Sipil bagi non-Muslim.

Hal ini sejalan dengan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan, "Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan."

Apakah anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan dapat memperoleh akta kelahiran?

Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan tetap berhak atas akta kelahiran; namun, ada ketentuan penting: nama ayah tidak boleh tercantum dalam akta kelahiran kecuali telah disahkan atau ditetapkan oleh pengadilan.

Landasan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk), yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.

Menurut Pasal 27 ayat (1), proses pencatatan kelahiran didasarkan pada laporan yang disampaikan oleh orang tua, disertai dengan dokumen yang diperlukan seperti bukti kelahiran dan akta nikah. Jika tidak ada akta nikah, terutama dalam kasus perkawinan yang tidak dicatatkan, akta kelahiran anak hanya dapat mencantumkan ibu sebagai orang tua.

Menurut Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, anak sah didefinisikan sebagai anak yang lahir dalam ikatan perkawinan yang sah. Menurut Pasal 43 ayat (1), "Anak yang lahir di luar ikatan perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya."

Memahami Hak Waris bagi Anak yang Lahir dari Perkawinan yang Tidak Tercatat

Menurut sumber yang sama, Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam tentang waris menetapkan bahwa "Anak yang lahir di luar ikatan perkawinan hanya mempunyai hubungan waris dengan ibunya dan keluarganya." Dengan demikian, harta warisannya semata-mata berasal dari ibunya.

Dalam arsip detikcom, Dr. Destri Budi Nugraheni, SH, MSI., dosen spesialis hukum waris Islam di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, menekankan bahwa aspek krusial dari hubungan nasab adalah keabsahan perkawinan. Dalam kasus perkawinan yang tidak dicatatkan, sangat penting untuk memastikan bahwa perkawinan tersebut telah memperoleh pengesahan dari pengadilan agama.

Jika suatu perkawinan tetap tidak tercatat dan belum disahkan melalui perjanjian perkawinan, akta kelahiran anak-anak dapat menunjukkan bahwa mereka lahir dari perkawinan yang tidak tercatat.

Selain itu, pengesahan perkawinan yang tidak tercatat sangatlah penting, karena ketiadaan pengesahan berarti tidak adanya akta perkawinan yang dapat menegaskan keabsahan perkawinan tersebut menurut hukum agama.

Ada dua skenario utama yang perlu dipertimbangkan: pembagian warisan dan pengesahan perkawinan yang tidak tercatat.

Hakim akan menilai keabsahan perkawinan tersebut, dan jika dianggap sah, anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan diakui sebagai ahli waris.

Tags:
Khazanah Islam

Komentar Pengguna