keboncinta.com --- Shalat istikharah adalah salah satu sunnah Nabi Muhammad SAW yang sangat dianjurkan ketika seorang muslim berada dalam keraguan atau menghadapi pilihan penting dalam hidup. Salah satunya adalah dalam urusan jodoh. Dengan shalat istikharah, seorang hamba memohon bimbingan dari Allah SWT agar diberi jalan terbaik yang penuh keberkahan.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: "Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)
Ayat ini menegaskan pentingnya menyerahkan keputusan besar kepada Allah, termasuk dalam hal memilih pasangan hidup.
1. Diberikan Kecenderungan Hati
Menurut Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar, tanda paling umum dari istikharah adalah adanya kecenderungan hati yang kuat terhadap salah satu pilihan, sehingga keraguan perlahan menghilang.
2. Muncul Kemantapan dan Ketenangan
Kemantapan hati (thuma’ninah) setelah istikharah merupakan tanda yang paling bisa diandalkan. Rasa tenteram yang hadir tanpa alasan logis merupakan ilham dari Allah SWT.
3. Petunjuk Melalui Mimpi
Sebagian ulama, seperti Ibnu Hajar al-Asqalani, menyebutkan bahwa mimpi bisa menjadi salah satu tanda istikharah, tetapi bukan tanda utama. Yang lebih penting adalah ketenangan hati setelah mimpi tersebut.
4. Kemudahan atau Kesulitan yang Dihadapi
Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam Fiqh al-Islami wa Adillatuhu menjelaskan bahwa setelah istikharah, Allah bisa menunjukkan jalan melalui kemudahan atau justru kesulitan dalam melangkah. Jika urusan lancar dan penuh dukungan, bisa jadi itu petunjuk untuk dilanjutkan.
Imam An-Nawawi menekankan bahwa seseorang yang beristikharah hendaknya benar-benar mengosongkan hati dari keinginan pribadi sebelum berdoa. Dengan demikian, apa yang ditetapkan Allah akan terasa lebih jelas sebagai jawaban terbaik.
Niat:
اُصَلِّي سُنَّةَ الإِسْتِخَارَةِ رَكْعَتَيْنِ ِللهِ تَعَالَى
Ushallii sunnatal istikhaarati rak‘ataini lillaahi ta‘aala.
Artinya: "Aku niat shalat sunnah istikharah dua rakaat karena Allah Ta’ala."
Takbiratul Ihram dan membaca doa iftitah.
Rakaat pertama membaca Al-Fatihah, kemudian dianjurkan membaca Surah Al-Kafirun.
Rakaat kedua membaca Al-Fatihah, kemudian dianjurkan membaca Surah Al-Ikhlas.
Menyempurnakan gerakan shalat seperti biasa hingga salam.
Membaca doa istikharah setelah shalat.
Menumbuhkan ketenangan hati.
Menyerahkan keputusan penting kepada Allah SWT.
Menghindarkan dari penyesalan di kemudian hari.
Membiasakan diri tawakal kepada Allah.
Doa setelah shalat istikharah jodoh adalah inti dari ibadah istikharah itu sendiri. Di dalamnya seorang hamba menundukkan hati, menyerahkan urusan hidupnya kepada Allah SWT, serta berharap ditunjukkan jalan terbaik. Doa istikharah yang diajarkan Nabi SAW ini bukan hanya sekadar permintaan, tetapi bentuk kepasrahan penuh pada takdir Allah yang Maha Tahu segala yang tersembunyi.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي، فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ. وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي، فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِي بِهِ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
Transliterasi:
Allâhumma shalli wa sallim ‘alâ sayyidinâ Muḥammadin, al-ḥamdu lillâhi rabbil-‘âlamîn. Allâhumma innî astakhîruka bi‘ilmika, wa astaqdiruka biqudratika, wa as’aluka min faḍlika al-‘aẓîm, fa innaka taqdiru wa lâ aqdiru, wa ta‘lamu wa lâ a‘lamu, wa anta ‘allâmul-ghuyûb. Allâhumma in kunta ta‘lamu anna hâdzâl-amra khairun lî fî dînî wa ma‘âsyî wa ‘âqibati amrî, faqdurhu lî wa yassirhu lî, tsumma bârik lî fîh.